Nadiantara: Motivasi Saya adalah Rasa Jengkel

Nadiantara: Motivasi Saya adalah Rasa Jengkel

Pada akhir 2017 yang lalu, Wikimedia Indonesia bersama Goethe-Institut Jakarta mengadakan Proyek Ganesha, yaitu kompetisi menulis di Wikipedia bahasa Indonesia bertopik ilmu sosial. I Wayan Nadiantara, yang keluar sebagai pemenang utama dari kompetisi tersebut mendapatkan beasiswa belajar bahasa Jerman di Goethe-Institut di Munchen.

 

Nadiantara, atau yang akrab dipanggil Nadi, berhasil menyelesaikan 10 tantangan serta mengalahkan 77 peserta lainnya hingga akhirnya keluar sebagai finalis dengan nilai tertinggi. Artikel andalannya yang mendapatkan poin tinggi dari para juri adalah arkeoastronomi, yang membahas mengenai disiplin ilmu yang berada pada titik pertemuan antara ilmu astronomi dan ilmu sosial yang meneliti kebudayaan masyarakat lampau. Selain Arkeoastronomi, selama kompetisi Nadi gemar menulis mengenai cabang-cabang ilmu sosial lainnya seperti filsafat fisika, geografi ekonomi, filsafat ekonomi, antropologi ekonomi, serta sejarah teknologi.

 

Walaupun mumpuni menulis artikel-artikel tentang ilmu sosial, Nadi sebenarnya kini tengah menempuh pendidikan sarjana di bidang fisika di Institut Teknologi Bandung. Ia mengakui mulai tertarik dengan fisika sejak duduk di bangku SMA. Ketika itu ia masih tinggal di Wanamukti, sebuah desa di pedalaman Sulawesi Tengah, bersama kedua orang tuanya yang adalah guru SD. Kondisi desa tersebut saat Nadi masih kecil belum memiliki fasilitas listrik. Lokasi rumah teman-teman Nadi pun saling berjauhan. Karena itu, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dengan membaca buku-buku paket yang digunakan oleh kedua orang tuanya. Selain itu, setiap minggu ayah Nadi rela pergi ke ibu kota kecamatan terdekat untuk sekedar membelikan majalah ataupun buku anak-anak untuk Nadi.

 

Sewaktu SMA, secara tidak sengaja ia menemukan buku-buku karangan Stephen Hawking dan Carl Sagan di sebuah perpustakaan daerah di sana. Setelah buku-buku tersebut habis dibaca olehnya, ia pun kembali memenuhi rasa ingin tahunya dengan menonton serial Cosmos di kanal National Geographic. Hal itulah yang kemudian memantapkan hatinya untuk memilih jurusan fisika saat kuliah, walaupun kemudian disesalinya karena ia merasa jurusan fisika ternyata sangat sulit.

 

Nadi telah menyelesaikan kursus satu bulannya selama 29 Oktober sampai 25 November 2018 di Munchen. Ivonne Kristiani dari Wikimedia Indonesia berkesempatan mewawancarai Nadi mengenai  pengalamannya selama kompetisi dan selama di Jerman.


Mengapa awalnya Nadi memutuskan untuk ikut serta di kompetisi Proyek Ganesha? 


Kegiatan perkuliahan saya sebenarnya cukup padat, apalagi saat di tahun ketiga saat saya mengikuti kompetisi ini. Saking padatnya saya kemudian merasa jenuh dan mencoba mencari pelarian yang kelihatannya produktif yaitu membaca artikel-artikel secara acak di Wikipedia. Saya tidak memiliki preferensi tertentu dalam memilih artikel yang akan saya baca. Mulai dari yang masih berhubungan dengan fisika seperti Mekanika Hamiltonian, Graphene, Paul Dirac, hingga artikel-artikel yang kelihatannya tidak relevan dengan jurusan saya, seperti filsafat feminisme, kukang Jawa, Felix Mendelssohn, dan lain-lain. Saat itu, di tengah-tengah kegiatan menggulirkan tombol tetikus di laman Wikipedia, secara tidak sengaja saya melihat spanduk yang berisi info tentang Proyek Ganesha. Karena lombanya terlihat mudah dan hadiahnya menarik (gile bro ke Jerman sebulan!), saya kemudian memutuskan untuk mengikuti kompetisi ini. 


Pengalaman apa yang paling berkesan selama mengikuti Proyek Ganesha?


Di awal perlombaan, tantangan yang diberikan sih relatif sangat mudah menurut saya, tapi makin mendekati akhir tingkat kesulitannya makin gila. Pengalaman paling berkesan adalah di tahapan terakhir lomba. Ketika itu saya tidak tidur selama dua malam karena batas waktu pengumpulan artikel dan laporan praktikum yang hampir bersamaan.


Proyek Ganesha sudah berakhir dari akhir tahun lalu, tetapi kamu masih aktif menyunting di Wikipedia. Apa yang membuat kamu masih rajin menulis dan berkontribusi di Wikipedia? 


Sebenarnya kata “rajin” menurut saya agak berlebihan. Saat ini saya hanya mengembangkan artikel-artikel rintisan karena kegiatan perkuliahan yang tidak bisa lagi dikesampingkan jika saya ingin segera lulus. Motivasi saya sebenarnya adalah rasa jengkel ketika ada topik yang menurut saya sangat populer dan penting namun artikel yang berkaitan dengan topik tersebut belum ada di Wikipedia bahasa Indonesia.


Seperti apa proses menulis kamu di Wikipedia, terutama di bidang fisika dan geografi? Bagaimana kamu mencari referensi, mengecek fakta, lalu dari mana ide menulis suatu artikel atau topik?


Biasanya proses menulis di Wikipedia berbahasa Indonesia didahului hobi saya berselancar di Wikipedia berbahasa Inggris. Jika menurut saya topik tersebut cukup penting dan populer namun belum ada di Wikipedia berbahasa Indonesia, saya akan menuliskan artikel rintisannya. Biasanya saya menggunakan jurnal-jurnal sumber terbuka (open sources) sebagai referensi. Status yang masih sebagai mahasiswa juga memudahkan saya untuk mengakses banyak jurnal berbayar yang telah digratiskan oleh kampus ditempat saya belajar.


Adakah tips dan trik menulis di Wikipedia untuk mereka yang masih belum terlalu mengenal Wikipedia? 


Ada dua hal penting menurut saya yang harus diperhatikan sebagai pemula. Pertama, jangan takut untuk menelaah semua opsi atau perkakas yang ada di Wikipedia, toh pada akhirnya semuanya bisa dikembalikan seperti semula. Kedua, membaca dan mengulik artikel-artikel yang telah mapan seperti artikel yang telah masuk kategori artikel pilihan dan artikel bagus. Dengan memperhatikan artikel-artikel tersebut kita akan lebih paham mengenai kegunaan dan cara menggunakan kotak info, templat, tautan, dan lain-lain, serta kita juga akan mengerti bagaimana gaya bahasa yang bagus dan struktur artikel agar mudah dipahami.


Apa pentingnya pengetahuan bebas menurut Nadiantara? 


Menulis artikel yang bagus di Wikipedia membutuhkan banyak referensi. Pengalaman mengikuti kompetisi ini membuat saya makin sadar pentingnya pengetahuan bebas bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di negara-negara berkembang. Era internet saat ini membuat penghalang tersalurkannya pengetahuan adalah konten berbayar (paywall)*. Jika kita mengatakan bahwa solusi dari pengentasan kemiskinan serta ketimpangan sosial adalah ilmu pengetahuan, maka sistem yang memperjuangkan pengetahuan bebas adalah gerbang menuju solusi tersebut. 


Sebagai hadiah dari Goethe-Institut, Nadiantara bisa memilih kota mana di Jerman yang akan ditinggali untuk mengambil kursus bahasa Jerman, selama merupakan kota cabang Goethe-Institut. Kota mana akhirnya yang Nadi pilih? Mengapa memilih kota tersebut? 


Saya memilih Kota Munchen. Alasannya karena banyak teman-teman saya yang pernah ke Jerman menyarankan kota tersebut. Begitu juga salah satu penulis favorit saya Ernest Hemingway menyarankan demikian dalam kutipannya yang dapat ditemukan di situs Wikitravel : “You do not even go somewhere else, I tell you there’s nothing like Munich. Everything else is a waste of time in Germany”. (“Anda tidak perlu pergi ke tempat lain, saya katakan tidak ada yang menandingi Munchen. Yang lainnya hanyalah buang-buang waktu di Jerman”). Ya, walaupun kutipan ini agak arogan, tapi saya percaya saja dengan beliau. 


Seperti apa pengalaman kamu selama di Jerman? Apa saja yang kamu lakukan di sana? 


Selama di Jerman kebanyakan hari-hari saya diisi dengan belajar bahasa Jerman serta mengerjakan tugas yang diberikan. Biasanya di akhir pekan saya bersama teman-teman memutuskan untuk bepergian ke restoran atau tempat-tempat wisata seperti Kastil Neuschwanstein, Kastil Nymphenburg, Allianz Arena, Deutsche Museum, dan lain sebagainya. Saya juga sempat berkenalan dan diundang makan malam oleh salah seorang warga lokal di sana. Berlawanan dengan stereotipe yang ditemukan di internet mengenai sifat orang Jerman yang katanya selalu serius, menurut saya warga di sini sangat ramah. Seringkali ketika saya terlihat kebingungan di stasiun atau saat berbelanja, ada warga lokal yang langsung menghampiri dan menawarkan bantuan.


Hal-hal apa yang mengejutkan buat kamu selama kamu di Jerman? 


Hal yang paling mengejutkan saya di Jerman adalah harga bir yang sangat murah, rata-rata 50 sen tiap kaleng atau sekitar Rp8.000,- jika di konversi ke dalam rupiah. Warganya juga sangat tertib dalam berkendara dan sangat mengutamakan pejalan kaki. Walaupun masuk dalam kategori kota terbesar di Jerman, Kota Munchen tak nampak padat dan terdapat banyak sekali taman-taman yang asri dan luas. Namun sayangnya, seperti banyak kota di Eropa, Kota Munchen masih belum memiliki regulasi yang jelas mengenai merokok di tempat umum, sehingga masih banyak ditemukan perokok yang merokok di jalan-jalan, di sekitar anak-anak, ataupun puntung rokok yang berserakan di trotoar.


Ada tidak persamaan antara budaya Indonesia dengan Jerman? Seperti apa kamu melihat kedua budaya tersebut? 


Menurut saya, Jerman merupakan negara yang memiliki warisan seni dan sejarah yang sangat banyak. Apalagi dalam bidang seni musik dan seni pertunjukan. Saya pikir Indonesia juga negara dengan warisan yang tidak kalah banyaknya, hanya saja dokumentasi yang dimiliki Indonesia terkait kesenian-kesenian tersebut masih sangat kurang secara kualitas maupun kuantitas di bandingkan Jerman. Sebagai contoh, hampir di tiap negara bagian di Jerman terdapat museum-museum yang dengan sangat rinci dalam mendokumentasikan sejarah mereka. Tidak hanya dikelola oleh pemerintah, banyak dari museum-museum ini yang juga dikelola secara privat. Ini menunjukkan bahwa selain memiliki kesadaran untuk menjaga warisan seni dan sejarah bangsa sendiri, masyarakat Jerman sangat sadar bahwa pengelolaan yang baik terhadap warisan-warisan tersebut juga dapat mendatangkan keuntungan finansial.

 

Apa rencana Nadi ke depannya setelah ini?  
 
Sebelum berangkat ke Jerman, rencana saya hampir pasti adalah kembali ke kampung halaman untuk menjadi guru. Selain karena sangat tertarik dengan profesi mengajar, saya juga merasa bahwa menjadi guru akan memberikan banyak waktu luang bagi saya untuk menekuni hobi lainnya seperti menulis, berkebun, dan mempelajari bahasa asing. Namun, di Jerman saya bertemu keluarga yang sangat menyarankan saya untuk melanjutkan studi magister di sana. Mereka pun mempersilakan saya untuk tinggal di rumahnya jika nantinya saya benar-benar melakukan hal tersebut. Mungkin saja saya akan melanjutkan program magister di sana, di bidang fisika terapan, sebelum akhirnya kembali ke kampung halaman. 

 



Proyek Ganesha berlangsung selama tiga bulan pada September hingga Desember 2017. Secara keseluruhan ada 1,439 orang yang mendaftar untuk mengikuti kompetisi dengan 8 orang finalis yang berhasil mencapai akhir. Kompetisi ini berhasil menghasilkan1,265 artikel baru mengenai ilmu sosial dan 239 artikel mengenai Jerman. Selengkapnya mengenai proyek ini.

 


*Paywall adalah suatu metode yang membatasi akses pengguna terhadap suatu konten kecuali pengguna tersebut membayar biaya langganan.