Membebaskan Pengetahuan di Sekolah melalui Wikipédia Menyang Sekolah
Setelah sukses dengan pelatihan penyuntingan di Wikipedia “WikiLatih,” Wikimedia Indonesia kembali menginisiasi program pelatihan penyuntingan di Wikipedia dengan format yang berbeda dari WikiLatih, yaitu Wikipédia Menyang Sekolah (WMS). Wikipédia Menyang Sekolah dalam bahasa Indonesia berarti Wikipedia ke Sekolah. Program ini bekerja sama dengan beberapa instansi pendidikan di Yogyakarta, Surakarta, Semarang dan sekitarnya dengan mengintegrasikan pelatihan penyuntingan di Wikipédia Jawa dan kurikulum atau mata kuliah dari instansi-instansi pendidikan yang dituju.
Di tahun 2018-2019, WMS diselenggarakan di tiga instansi pendidikan, yaitu Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Sebelas Maret (UNS), dan Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penyelenggaraan WMS ini melibatkan sukarelawan-sukarelawan Wikimedia Indonesia terutama sukarelawan dari Komunitas Wikipédia Jawa, di bawah pengarahan Koordinator Proyek Wikipédia Menyang Sekolah.
Sukarelawan memulai pelatihan penyuntingan yang dijadwalkan seminggu sekali, selama lima kali pertemuan di tiap instansi. Pelatihan penyuntingan ini dilaksanakan di jam mata kuliah yang sudah disepakati bersama. Semester I WMS berjalan dari bulan Juli 2018-Januari 2019 dan diselenggarakan di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni, UNY. Lalu, Semester II WMS berjalan dari bulan Februari 2019-Juni 2019 yang diselenggarakan di Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UNS serta di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni, UPGRIS.
Selama program WMS berlangsung, peserta pelatihan tidak hanya dilatih cara menyunting di Wikipedia (terutama Wikipédia Jawa), tetapi juga belajar bahasa Jawa. Peserta pelatihan terlihat antusias karena mereka merasa ini adalah hal baru sehingga membuat perkuliahan menjadi lebih asyik. Selain itu, peserta pelatihan di tiap instansi diberi tugas yang akan dinilai oleh panitia WMS dan dosen pengampu mata kuliah. Tugas tersebut adalah menulis beberapa artikel dengan sumber referensi yang terpercaya di Wikipédia Jawa. Artikel yang ditulis oleh para peserta di Wikipédia Jawa tidak hanya bermanfaat bagi mahasiswa, tetapi juga bagi khalayak karena artikel tersebut bisa diakses, dibaca, dan diperbaiki oleh siapa saja.
Sebanyak 241 artikel telah dibuat dan 125 mahasiswa telah terlibat sebagai peserta pelatihan selama program WMS berlangsung. Wikimedia Indonesia berharap akan lebih banyak lagi instansi-instansi pendidikan yang berminat untuk menyelenggarakan program WMS ini. Apabila tertarik untuk menyelenggarakan WMS, silakan hubungi info@wikimedia.or.id.
Kebijakan Ruang Ramah Acara
Kebijakan ruang ramah acara adalah panduan pertemuan komunitas Wikimedia untuk mendorong terciptanya pengalaman yang positif dan membangun bagi seluruh peserta. Komunitas Wikimedia telah berdedikasi untuk memberikan pengalaman yang ramah bagi semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, orientasi seksual, identitas gender atau ekspresi, disabilitas, penampilan, ras, agama, atau pilihan lisensi bebas (dan tidak terbatas pada aspek-aspek tersebut). Kami tidak memberikan toleransi atas pelecehan yang terjadi di acara yang diselenggarakan oleh Wikimedia Indonesia. Siapa pun yang melanggar peraturan ini dapat diminta untuk meninggalkan acara tersebut.
Definisi pelecehan
Yang termasuk kategori pelecehan adalah sebagai berikut:
- Komentar verbal yang menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan gender, orientasi seksual, identitas gender atau ekspresi, disabilitas, penampilan fisik, ukuran tubuh, ras, suku, afiliasi politik, atau agama;
- Intimidasi yang disengaja, menguntit, mengikuti orang lain tanpa seizinnya, pelecehan melalui foto atau rekaman, mengganggu pembicaraan atau acara lainnya;
- Menampilkan konten-konten seksual yang tidak kontekstual, melakukan kontak fisik yang tidak sesuai pada tempatnya, dan menyoroti aktivitas seksual yang tidak diinginkan;
- Perilaku lainnya yang tidak secara eksplisit dibahas di atas, tetapi dapat ditafsirkan sebagai bentuk tindakan yang tidak disukai dan tidak masuk akal.
Peserta yang diminta untuk menghentikan perilaku tersebut diharapkan dapat mematuhinya.
Konten yang berpotensi menyinggung
Gambar dan media lain yang mungkin menyinggung, menyusahkan, atau mengganggu orang lain tidak boleh ditampilkan dalam konferensi dan acara, kecuali saat konten tersebut terkait langsung dengan topik yang berhubungan dengan Wikimedia. Selain itu, peserta harus diberi informasi dengan jelas sebelum konten ditampilkan.
Beberapa contoh konten semacam itu mencakup gambar yang menunjukkan ketelanjangan, konten seksual, kekerasan, atau gambar medis. Perhatian yang sama juga harus dilakukan ketika menggambarkan orang pribumi yang telah meninggal, tidak hanya dengan citra, tetapi juga dalam rekaman teks atau audio, yang harus dihindari jika memungkinkan.
Praktisnya:
- Semua presentasi perlu ditinjau ulang oleh panitia sebelum acara dimulai,
- dalam peninjauannya, panitia harus mencari pendapat dari komite Wikimedia Indonesia, dan sebagaimana layaknya dari pihak ketiga seperti tetua, keluarga, atau manajemen tempat acara tersebut diselenggarakan;
- sebelum presentasi dimulai, pengumuman harus diberikan kepada peserta agar orang yang tidak ingin melihat konten-konten tersebut memiliki waktu yang cukup untuk meninggalkan ruangan.
Tindakan pencegahan
Karena acara komunitas Wikimedia dikelola oleh sukarelawan dan/atau staf Wikimedia Indonesia, penyelenggara acara juga mengharapkan bantuan dan dukungan dari semua peserta dalam mempertahankan kebijakan ruang ramah acara ini. Jika Anda mengalami pelecehan, melihat orang lain mengalami pelecehan, atau memiliki masalah lain, segera hubungi panitia.
Jika panitia khawatir akan perilaku seseorang atau menerima keluhan dari peserta, panitia akan mengambil tindakan yang sesuai dengan situasi pada saat itu. Tindakan tersebut dapat berupa peringatan secara personal maupun meminta orang yang bersangkutan untuk meninggalkan tempat acara. Panitia dengan senang hati membantu peserta untuk menghubungi pihak keamanan tempat acara atau penegak hukum setempat, memberikan pendampingan, atau membantu orang-orang yang mengalami pelecehan agar merasa aman selama acara berlangsung.
Perkenalan dengan Creative Commons Indonesia
Penulis: Wahyu Setioko
Sekitar setahun yang lalu, Saya tengah rebahan sambil menggulir linimasa Twitter. Sebuah kicauan tentang Creative Commons (CC) menahan jempol Saya untuk lanjut bergerak. Spontan terlintas kembali teguran halus yang saya dapatkan dari seorang profesor pada bulan pertama studi saya di luar Indonesia. Presentasi digital saya yang bergelimang materi visual dikomentari olehnya lantaran tidak menyantumkan kredit yang pantas terhadap penciptanya. Jujur, saya menyembunyikan kebingungan saat mendengarnya. Hal tersebut rasanya lumrah di Indonesia atau setidaknya lumrah bagi lingkungan tempat saya dibesarkan hingga lulus sarjana (catatan: ini tentunya berbeda dengan sitasi pada karya ilmiah yang tentunya diajarkan di Indonesia). Bulan berikutnya, profesor tersebut lantas memasukkan sedikit materi tentang hak cipta, perlunya meminta izin untuk menggunakan karya berhak cipta, dan bagaimana mencari serta menggunakan karya-karya berlisensi Creative Commons yang dapat digunakan tanpa perlu meminta izin penciptanya.
Di Indonesia, literasi masyarakat terhadap hak cipta masih rendah. Ironisnya, hal ini justru berbanding terbalik dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan pengguna internet di Indonesia. Dampaknya, ketidaksengajaan plagiarisme terhadap konten digital terjadi di mana-mana. Biasanya yang dirugikan adalah pencipta aslinya, tetapi tak jarang penggunanya juga dirugikan. Dalam kasus saya, saya jadi merasa malu di hadapan profesor dan teman-teman dari beragam belahan dunia karena ketidaktahuan saya terhadap hak cipta. Untung hanya malu, tidak sampai harus membayar ganti rugi yang umum terjadi di banyak negara.
Jadi, saat kicauan itu mengajak pembacanya untuk belajar dan menjadi pelatih tentang Creative Commons di Indonesia (Training of Trainers), saya langsung ambil tantangan itu. Pikir saya sederhana, jangan sampai ada lebih banyak orang Indonesia yang ‘memalukan’ karena tidak paham hak cipta dan penggunaan karya berlisensi terbuka. Jangan seperti saya kala itu. Harus lebih banyak orang tahu. Seberapa banyak? Sebanyak pengguna internet di Indonesia.
Singkat cerita, proses seleksi Training of Trainers Creative Commons Indonesia (CCID-ToT) berlangsung 10 bulan. Alhamdulillah, saya berhasil melalui tiga misi (baca: ujian) yang minim petunjuk selama 10 bulan itu. Saya belajar secara otodidak di sela-sela rutinitas pekerjaan dan keluarga. Ternyata proses tidak mengkhianati hasil. CCID memberikan beasiswa sertifikasi internasional Creative Commons dan beasiswa perjalanan untuk mengikuti Creative Commons Global Summit 2019 di Lisbon, Portugal. Alhamdulillah, saya dapat banyak kesempatan belajar.
Creative Commons Global Summit 2019 (CCGS 2019), 9-11 Mei 2019, Lisbon, Portugal.
Bagi saya, sejak awal terjun ke komunitas Creative Commons Indonesia adalah sebuah misi balas dendam. Membalas ketidaktahuan saya yang berujung memalukan dengan pengetahuan sedalam-dalamnya terhadap hak cipta, lisensi CC, dan budaya terbuka. CCID memfasilitasi saya untuk belajar lebih jauh, baik literal maupun kiasan tentang CC hingga ke Portugal.
Lisbon, ibukota Portugal, merupakan salah satu kota tertua di Eropa bahkan di dunia. Tak heran, Lisbon memiliki museum yang jumlahnya tak cukup dihitung dengan jari. Saya selalu suka museum. Bagi saya, museum adalah mesin waktu. Tempat kita bisa kembali melihat masa lalu dan membayangkan masa depan. Sempurna rasanya ketika CCGS 2019 diadakan di Museum Oriental (Museo du Oriente), Lisbon. Dengar-dengar, salah satu alasan pemilihan museum sebagai tempat bertemunya pegiat hak cipta dan lisensi terbuka ini adalah karena museum merepresentasikan ranah, ruang, area, atau domain publik yang terbuka untuk dinikmati siapa saja. Selain itu, memang pada dasarnya semua koleksi karya-karya di museum sudah bebas hak cipta dan telah resmi masuk ke dalam domain publik sebagai sumber daya bersama (commons). Alasan yang idealis, bukan?
Ekspektasi saya terhadap CCGS 2019 sewajarnya saja. Saya telah siap untuk duduk manis mendengarkan dan menyerap pengetahuan dari berbagai pembicara selama 3 hari. Saya juga siap untuk bertemu dan memulai percakapan singkat untuk membuka peluang berjejaring dengan orang-orang ‘besar’ di bidang hak cipta dan lisensi terbuka. Saya sengaja menyiapkan pakaian formal terbaik saya dan menjaga perilaku di depan para ahli dari berbagai belahan dunia. Ya, selayaknya sebuah pertemuan tingkat tinggi dunia. Rupanya, pertemuan yang satu ini berbeda dengan ekspektasi saya. CCGS 2019 begitu kasual. Alih-alih presentasi satu arah yang berujung dengan tanya jawab, pertemuan ini dirancang dengan puluhan sesi-sesi paralel di beberapa tempat yang tersebar di dalam museum. Mulai dari auditorium, aula, lorong-lorong museum, ruang rapat hingga kelas besar.
Seniman pegiat musik berlisensi CC memamerkan karya dan bisnis terbukanya di auditorium. Musik-musik berkualitas pun diperdengarkan. Ada juga pembuat komik literasi hak cipta yang karyanya laris diserbu peserta. Di aula, ada sebuah demonstrasi memasak menarik yang menganalogikan perbedaan remiks dan koleksi beserta implikasinya terhadap lisensi CC yang digunakan. Sementara lorong-lorong museum diisi dengan berbagai stan pameran dengan karya menarik seperti mesin cetak 3 dimensi buatan rumahan, alat menggambar pola otomatis, media pembelajaran oktagon, dan karya-karya lainnya. Di ruang rapat kecil, para praktisi gerakan keterbukaan, kebijakan, dan pendidikan berkumpul untuk mendiskusikan strategi reformasi hak cipta, akses terbuka (open access), sains terbuka (open science), pendidikan terbuka (open education), dan arsip perpustakaan serta museum. Sementara itu, kelas-kelas besar dipenuhi dengan lokakarya-lokakarya interaktif yang melibatkan peserta dalam kegiatan belajar yang menyenangkan.
Nuansa CCGS 2019 yang ramah dan penuh keakraban mendukung interaksi-interaksi antar praktisi dan komunitas CC dari berbagai penjuru dunia. Saya sendiri juga jadi berkenalan dengan pegiat pendidikan terbuka dari Denmark, sutradara film dari Kolombia, praktisi hak cipta dari Inggris, guru besar universitas di Kanada, dan masih banyak lagi. Semoga jejaring ini dapat bermanfaat ke depannya untuk saya pribadi, untuk literasi masyarakat Indonesia dan lisensi terbuka.
Lihat keseruan CCGS 2019 di Lisbon melalui foto-foto karya Sebastian ter Burgdi sini.
Kembali ke Indonesia
Menghadiri CCGS 2019 di Portugal menginspirasi saya untuk menerapkan pembelajaran-pembelajaran yang saya peroleh dalam rangka membuat masyarakat Indonesia lebih paham terhadap hak cipta dan budaya terbuka. Saya sadar bahwa hak cipta merupakan isu penting yang tidak mudah dipahami. Oleh karena itu, dibutuhkan cara yang menarik untuk membuat orang paham terhadap isu ini. Satu hal konkret yang terpikir dalam benak saya adalah dengan mengadakan lokakarya yang dilakukan melalui permainan-permainan menyenangkan, alih-alih sosialisasi satu arah.
Saya tidak sabar untuk mengadaptasi pendekatan literasi hak cipta, budaya berbagi, dan lisensi terbuka untuk masyarakat di Indonesia dengan cara yang menarik. Harus lebih banyak lagi masyarakat yang paham tentang hak cipta, lisensi CC, dan budaya terbuka. Sebanyak pengguna internet di Indonesia.
Terima kasih untuk Creative Commons Indonesia yang telah memfasilitasi dan memberikan kesempatan belajar yang komprehensif tentang hak cipta, budaya terbuka, dan lisensi CC. Mulai dari pelatihan menjadi pelatih CC, sertifikasi internasional, hingga CCGS 2019. Saya siap membagikan pengetahuan yang diperoleh untuk kemaslahatan orang banyak, khususnya masyarakat Indonesia.
Konferensi Wikimedia dan Pendidikan 2019
Penulis: Nur Rahmi Nailah
Wikimedia+Education Conference 2019 (WMEDUCON 2019) atau Konferensi Wikimedia+Pendidikan 2019 adalah konferensi berskala internasional yang ditujukan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proyek-proyek yang berkaitan dengan Wikimedia dan Pendidikan. Konferensi ini diikuti oleh berbagai macam kalangan dari berbagai penjuru dunia yang memiliki tujuan yang sama, yaitu berbagi pengetahuan secara bebas dan gratis, dengan memanfaatkan Wikipedia dan proyek-proyek saudarinya. Konferensi ini bermaksud untuk mempertemukan pihak-pihak tersebut agar mereka dapat berbagi pengalaman mengenai apa yang mereka kerjakan, belajar dari pengalaman satu sama lain, serta berjejaring dalam skala internasional. Konferensi ini dibuka pada tanggal 5 April 2019 di balai kota San Sebastián, Donostia, Basque, dan dilaksanakan tanggal 6-7 April 2019.
Di konferensi WMEDUCON 2019 terdapat banyak sesi pemaparan mengenai program pendidikan yang berbeda-beda dari berbagai macam negara. Hal menarik yang dapat dilihat setelah menyimak sesi-sesi tersebut adalah betapa berbedanya program-program yang berhubungan dengan pendidikan yang diselenggarakan di masing-masing negara. Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti kesenjangan perkembangan teknologi dan kualitas sumber daya manusia. Sebagai contoh, adanya pengembangan Vikidia serta Txikipedia. Vikidia dan Txikipedia adalah ensiklopedi daring seperti Wikipedia, yang dikembangkan menggunakan MediaWiki, tetapi dibuat khusus untuk anak-anak. Konten kedua ensiklopedi daring tersebut ditulis sederhana dengan tampilan yang menarik sehingga mudah dipahami anak-anak. Hal tersebut kemudian memberikan gambaran bahwa di negara-negara maju sudah muncul pemikiran mengenai pengembangan Wikipedia untuk anak-anak. Sementara itu, di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, sambungan internet masih menjadi kendala dalam mengakses Wikipedia maupun proyek-proyek saudarinya.
Selain sesi mengenai pengembangan Wikipedia untuk anak-anak, sesi presentasi lainnya yang cukup menarik adalah sesi Program Pendidikan Tiga Tahun di Universitas Maynooth. Di sesi ini dijelaskan mengenai salah satu masalah yang dihadapi oleh mahasiswa-mahasiswi peserta pelatihan ketika menyunting di Wikipedia bahasa Inggris. Beberapa pengguna dianggap “tidak ramah” terhadap pengguna baru. Selain itu, ada juga sesi dari kontributor Wikimedia Bangladesh yang menceritakan sulitnya mengembangkan Wikipedia bahasa Bengali terutama untuk dimanfaatkan dalam bidang pendidikan. Hal ini dikarenakan banyak widyaiswara (guru) yang masih menganggap bahwa Wikipedia bahasa Bengali belum menjadi situs yang layak untuk dimanfaatkan dalam bidang pendidikan, baik karena konten yang dianggap masih sangat terbatas maupun kurangnya pengetahuan mengenai adanya Wikipedia dalam bahasa Bengali.
Di hari terakhir, konferensi ditutup dengan lari estafet yang disebut Korrika. Korrika merupakan perlombaan lari yang diselenggarakan dua tahun sekali di wilayah Basque yang bertujuan untuk menggalang dana bagi sebuah organisasi pengajaran bahasa Basque. Jarak tempuh Korrika di tahun 2019 adalah 2.560 kilometer dengan waktu tempuh 11 hari, siang dan malam tanpa henti. Beberapa peserta WMEDUCON 2019 yang berpartisipasi dalam acara ini menempuh perjalanan dengan bus selama 1 jam dari San Sebastian. Lokasinya berada di Milafranga, sebuah desa kecil yang berada di perbatasan antara Spanyol dengan Prancis. Jarak tempuh bagi kelompok ini untuk lari hanya 1 kilometer saja dan dimulai di kilometer ke-749.
The 2019 Creative Commons Global Summit: Perjalanan Menemukan Ilmu Baru, Teman Baru, dan Diri yang Baru
Penulis: Siti Nurleily Marliana
Kesempatan untuk menghadiri The 2019 Creative Commons Global Summit (CCGS) dengan beasiswa perjalanan dari Creative Commons Indonesia (CCID) merupakan salah satu pengalaman terbaik yang pernah saya dapatkan seumur hidup saya. Meskipun demikian, kekhawatiran membayangi keberangkatan saya ke Lisbon. Sebagai orang yang masih baru dalam lingkaran Creative Commons (CC), dengan bidang aplikasi lisensi CC yang relatif sempit dan spesifik (yaitu dalam publikasi ilmiah), saya hanya mempunyai sedikit bayangan mengenai apa yang akan saya lakukan dan dapatkan selama menghadiri CCGS. Saya hanya berharap, setidaknya di sana saya akan mendapatkan informasi perkembangan terkini mengenai gerakan akses terbuka dan edukasi terbuka, serta mendapatkan kesempatan berbagi pengalaman dengan para peserta yang juga merupakan praktisi akses terbuka, terutama yang berkaitan dengan publikasi ilmiah.
Dalam track Open Education, Open Science, and Open Access, sesi-sesi CCGS didominasi oleh topik yang berkaitan dengan pendidikan terbuka dan pembangunan sumber pembelajaran terbuka (OER). Contoh kasus dan strategi pengembangan OER yang saya peroleh masih relatif terlalu maju atau tidak kompatibel, khususnya bagi lingkungan pendidikan tinggi di Indonesia di mana penggunaan maupun pengembangan OER masih berada pada tahap permulaan. Meskipun demikian, informasi yang saya peroleh dari berbagai sesi tersebut akan sangat bermanfaat sebagai bekal perencanaan di masa depan. Contoh kasus menarik dari sesi yang saya hadiri adalah kasus gerakan mahasiswa di Alberta, Kanada, dalam menuntut penggantian buku-buku perkuliahan mereka dengan OER, karena mahalnya harga buku-buku tersebut. Dari pengalaman saya pribadi selama menjadi mahasiswa maupun pengajar, kebutuhan untuk mendapatkan bahan kuliah dalam bentuk OER di Indonesia relatif rendah, karena sistem perkuliahan kita tidak mewajibkan pembelian buku, dan masih berjalannya budaya fotokopi buku teks secara ilegal. Sayangnya, di luar pengharapan saya, tidak banyak sesi mengenai penggunaan lisensi CC pada publikasi ilmiah, terutama yang membahas berbagai tantangan yang dihadapi atas penerapannya. Namun demikian, banyaknya sesi yang memicu rasa keingintahuan saya mengobati kekecewaan saya atas hal tersebut.
Walaupun selama tiga hari pelaksanaan CCGS saya berencana memusatkan perhatian saya pada track Open Education, Open Science, and Open Access, banyaknya pilihan sesi menarik yang berjalan secara paralel membuat fokus saya agak buyar. Akhirnya, saya mengabaikan susunan sesi acara yang saya rencanakan sejak jauh hari sebelum keberangkatan saya ke Portugal, dan mengikuti ke sesi mana naluri saya membawa. Salah satu sesi yang sangat menarik bagi saya adalah sesi CC Music Makers Show Cases. Dalam sesi ini, dua pembicara dari the Tribe of Noise membagikan pengalaman mereka dalam membangun dan mengelola komunitas musik terbuka daring, di mana puluhan ribu musisi dari puluhan negara di dunia bergabung sebagai anggotanya, saling berbagi karya mereka yang berlisensi CC, dan menjalankan bisnis berdasarkan prinsip keterbukaan. Sayangnya, karena keterbatasan waktu, keingintahuan saya mengenai sejauh mana the Tribe of Noise mengintervensi idealisme anggotanya dalam bermusik dalam upaya mendorong karir mereka tidak memperoleh jawaban. Sesi lain yang juga menarik perhatian saya adalah sesi peluncuran CC Create, suatu platform bagi para seniman dalam komunitas CC untuk saling berbagi karya dan menjalin kerja sama. Keberadaan CC Create akan membantu mengimbangi lemahnya pemanfaatan lisensi CC dalam bidang seni, sekaligus mempromosikan karya-karya yang berlisensi CC.
Ada peristiwa menarik di hari ketiga pelaksanaan CCGS, ketika saya diminta oleh CCID Chapter Leader, Fitriayu, untuk menjadi narasumber pengganti dalam sesi diskusi panel “How can we promote Creative Commons awareness in new communities?”. Walaupun dengan sedikit panik karena harus mempersiapkan materi dalam waktu kurang dari satu jam, akhirnya saya berhasil memaparkan penggunaan CC dalam dunia publikasi ilmiah di Indonesia dan di universitas saya, Universitas Gadjah Mada, pada khususnya. Saya menceritakan proses pengenalan dan pelatihan penerapannya pada artikel-artikel jurnal di lingkungan UGM, perannya dalam mendorong keterbukaan di komunitas jurnal UGM, serta tantangannya. Dalam sesi diskusi, peserta mempertanyakan sejauh mana gerakan keterbukaan akses di Indonesia atas data dan hasil penelitian yang bersumberkan dana dari masyarakat, sebagaimana yang sudah dijalankan di berbagai institusi di UK, US, serta sebagian negara-negara di Eropa, dan apakah para kontributor dalam jurnal ilmiah di Indonesia memahami hak-hak mereka atas hak cipta, pengarsipan, dan/atau penyebarluasan artikel mereka. Saya menyampaikan bahwa di Indonesia, kedua hal tersebut masih berada dalam tahap awal perkembangan dan masih memerlukan dukungan kampanye, terutama untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran para penulis akan hak-hak mereka. Setelah sesi panel tersebut, seorang peserta dari Amerika Selatan menghampiri saya untuk berdiskusi mengenai pengalaman dan permasalahan mengenai gerakan keterbukaan dan penggunaan lisensi CC di negara kami masing-masing, dan berharap bisa melanjutkan komunikasi di masa mendatang untuk kepentingan risetnya. Saya sangat lega akhirnya menemukan seseorang di CCGS yang berjuang di jalur yang sama dan menghadapi permasalahan yang serupa.
Selama di Lisbon, ternyata banyak pengetahuan di luar CC dan gerakan keterbukaan yang juga saya dapatkan. Keindahan kota Lisbon dan arsitekturnya, serta keramahan luar biasa penduduk lokalnya sangat berkesan buat saya, bahkan lebih mengesankan dibandingkan yang saya alami di berbagai kota di Eropa yang pernah saya singgahi atau tinggali. Selain itu, berkat Bhredipta, sesama delegasi CC dari Indonesia yang setia menjadi narator di setiap monumen atau lokasi bersejarah yang kami kunjungi, saya kembali belajar mengenai kaitan sejarah antara Indonesia dan Portugal di masa lalu yang sudah saya lupakan sejak zaman saya lulus SMA. Kenangan atas zaman kejayaan Portugal di laut pada masa eksplorasi ratusan tahun yang lalu tersebar di berbagai museum dan monumen di Lisbon. Suami saya, yang kebetulan berkebangsaan Portugal, dengan bergurau mengatakan bahwa, “…kalau saja [saat itu ukuran] Portugal sebesar Spanyol, saat ini sebagian besar negara di dunia pasti berbicara dalam bahasa Portugis…”, sebagai tanggapan atas komentar saya mengenai kecanggihan desain kapal-kapal perang Portugis di Museum Kelautan (Museu de Marinha), Belém.
Banyak sekali pengalaman dan pengetahuan berharga yang saya dapatkan selama menghadiri CCGS 2019 ini. Untuk itu, ucapan terima kasih dan rasa apresiasi yang sebesar-besarnya saya berikan kepada CCID dan seluruh keluarga besarnya atas kesempatan yang diberikan kepada saya. Melihat begitu besarnya antusiasme peserta dan pembicara yang menghadiri CCGS membuat saya jadi tertulari semangat mereka untuk tetap gigih berjuang bersama CC. Hanya ada sedikit komentar dari saya mengenai kelemahan format pelaksanaan CCGS, yaitu terlalu banyaknya jumlah sesi paralel. Hal ini menyebabkan sedikitnya jumlah peserta di masing-masing sesi. Selain itu, cakupan topik yang sangat luas berdampak pada kurangnya kedalaman dan fokus materi yang dipresentasikan. Mengingat CCGS merupakan kegiatan rutin setiap tahun dan telah berlangsung beberapa kali, saya kira CC Headquarter perlu mempertimbangkan untuk menjalankannya secara tematik, dengan mengangkat topik yang spesifik setiap tahunnya sehingga CCGS dapat menghasilkan keluaran dengan dampak yang lebih nyata.
Saat ini saya telah kembali ke habitat saya sebagai pengajar dan peneliti, di mana falsafah gerakan keterbukaan dan manfaatnya baru dikenal di kalangan terbatas. Dengan segala keterbatasan saya, berbekal ilmu yang saya peroleh selama proses Training of Trainers CCID, sertifikasi CC for Educators, dan CCGS 2019, saya berusaha menyebarluaskan ide keterbukaan, terutama di kalangan mahasiswa. Di bidang publikasi ilmiah, orientasi para penulis memilih sistem akses terbuka adalah untuk meningkatkan kemungkinan dikutip oleh penulis yang lain sehingga meningkatkan indeks sitasi mereka. Fakta bahwa pada sisi lain sistem akses terbuka tersebut akan memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk mengakses ilmu pengetahuan terkini belum menjadi motivasi utamanya. Banyak tantangan yang harus saya hadapi dan akan memerlukan proses yang lama. Meskipun demikian, saya pribadi percaya bahwa semangat keterbukaan dan berbagi tidak bisa dipaksakan. Semangat tersebut harus dimulai sedikit demi sedikit, mengubah budaya yang telah berkembang sejak lama menuju kesadaran bahwa keterbukaan bukan hanya bermanfaat bagi masyarakat luas, tetapi juga bagi diri kita sendiri. Jalan menuju keterbukaan akan tergapai pada waktunya karena keterbukaan bukan hanya sekadar kebutuhan, tetapi juga merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan dari perkembangan umat manusia.
Kontes Adaptasi Karya: Kita Berkarya, Kita Merdeka
Deskripsi Lomba
Kontes Adaptasi Karya: Kita Berkarya, Kita Merdeka merupakan kegiatan kolaboratif antara Creative Commons Indonesia dan Gimpscape Indonesia. Luaran dari kontes ini adalah poster infografis berisi materi sosialisasi tentang panduan menggunakan karya yang berlisensi Creative Commons. Kontes ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya sama sekali.
Ketentuan
Berikut merupakan beberapa ketentuan kontes yang harus dipatuhi oleh para peserta:
- Karya yang dikirim harus dilisensikan dengan lisensi CC BY (Atribusi) 4.0 Internasional, Unduh piktogram lisensi CC BY (atribusi) 4.0 di sini
- Materi kontes berlisensi CC BY 4.0 jadi peserta diwajibkan memberikan atribusi dengan format sebagai berikut:
Infografis oleh <nama peserta> berdasarkan “Menggunakan Karya Berlisensi Creative Commons” oleh Harsa W.R, CC BY 4.0 Internasional. (https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/deed.id).
- Karya yang dibuat merupakan karya hasil buatan sendiri bukan dibuat oleh orang lain.
- Karya yang dikirim harus menggunakan format PNG dan berkas asli dalam format dokumen terbuka (SVG, XCF, atau KRA).
- Karya yang dikirim dapat diaplikasikan untuk publikasi di berbagai media sosial (diperkenan untuk membuat semacam salindia untuk Instagram feed).
- Karya yang dikirim tidak boleh menyinggung hal-hal terkait isu SARA dan pornografi.
- Tidak diperkenankan untuk menyisipkan karya orang lain (berupa foto, ilustrasi, atau gambar) yang tidak menggunakan lisensi terbuka.
- Konten dibuat dengan menggunakan menggunakan palet warna yang telah disediakan oleh penyelenggara dan fonta Source Sans Pro. Palet warna dapat diunduh pada tautan berikut ini.
- Tiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu karya.
- Kontes ini bersifat individu, bukan kelompok atau grup.
- Panitia berhak untuk mendiskualifikasi karya yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan di atas dengan atau tanpa pemberitahuan apapun kepada peserta terkait.
Sumber Materi
Para peserta dapat menggunakan konten materi yang telah disediakan oleh panitia. Materi dapat diubah dan disesuaikan selama tidak mengurangi esensi dari pesan yang seharusnya disampaikan. Silakan unduh konten materi melalui tautan berikut ini.
Pengiriman Karya
Kirim karya terbaikmu ke surel gimpscape.id@gmail.com dengan subjek “KONTES CCID” (kapital di tiap huruf). Harap untuk menyertakan identitas diri yang mencakup: nama, alamat lengkap, nomor hp pada badan surel. Surel yang dikirim tanpa keterangan identitas tidak akan diperhitungkan sebagai peserta.
Selain itu, peserta diwajibkan untuk mengunggah karyanya di Instagram dengan menggunakan tagar #AkuPakaiCC #gimpscape #CCID serta me-mention akun instagram @cc.indonesia dan @gimpscape_id.
Tenggat Pengiriman, Penjurian dan Pengumuman
Kontes akan mulai dibuka pada tanggal 10 Juli 2019 dan ditutup pada tanggal 10 Agustus 2019 pada pukul 22.00 WIB. Karya yang dikirimkan di luar waktu yang disebutkan akan gugur secara otomatis. Penjurian akan dilakukan segera setelah kontes ditutup. Juri dalam Kontes Adaptasi Karya: Kita Berkarya, Kita Merdeka
ini adalah Joaquim Baeta (Network Member – Creative Commons Global Network) dan Nugroho Dwi Hartawan (Gimpscape Indonesia). Pemenang kontes akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 2019 pada pukul 10.00 WIB melalui media-media sosial Creative Commons Indonesia dan Gimpscape Indonesia
Hadiah
Kami telah menyiapkan hadiah berupa pen tablet Wacom Bamboo untuk dua orang pemenang dan satu bingkisan spesial untuk karya favorit yang mendapat paling banyak Like dari warganet di Instagram.
Lain-Lain
Tidak ada pengalihan hak cipta terhadap materi lomba antara pihak peserta ke pihak penyelenggara. Peserta tetap menjadi pemegang hak cipta eksklusif materi lomba dan memberikan izin penggunaan kepada siapa pun, di mana pun, dan kapan pun sesuai dengan lisensi CC yang diterapkan pada materi lomba.